Guestbook -- Buku Tamu


[ View Guestbook -- Lihat Buku Tamu ]  [ Sign Guestbook -- Isi Buku Tamu ]
Free Guestbook by UltraGuest.com


Contents -- Daftar Isi

  • MENGATASI MENTAL BLOCKS PADA PEREMPUAN TUNANETRA
  • Melia Hotels honors Jakarta employee for community leadership
  • Rina, Pekerja Tuna Netra di Hotel Bintang 5
  • RAPAT KERJA Pembahasan RUU HAK-HAK Penyandang DISABILITAS
  • HIDUP MENJADI TUNA NETRA ADALAH ORANG PILIHAN MAKA BERBAHAGIALAH
  • Goodbye (Air Supply)
  • Dancing Queen (ABBA)
  • Nobody Wants to be Lonely (Christina Aguilera)
  • My Way (Frank Sinatra)
  • I Believe I Can Fly (R. Kelly)


  • Friday 22 November 2013

    MENGATASI MENTAL BLOCKS PADA PEREMPUAN TUNANETRA



    Oleh: Rina Prasarani – Sekretaris Jenderal Persatuan Tunanetra Indonesia
    Disajikan pada Workshop Pemberdayaan Perempuan Tunanetra Dewan Pengurus
    Daerah Pertuni Jawa Tengah
    Semarang 22 – 24 November 2013


    Apa itu Mental Blocks?
    Mental blocks adalah salah satu hasil akhir dari proses pemograman pikiran yang bersifat menghambat kita dalam mencapai impian atau tujuan kita, karena mental block menghalangi pikiran sadar seseorang dari tindakan positif yang memberdayakan.
    Proses pemrograman pikiran sebenarnya telah terjadi sejak seorang anak masih di dalam kandungan ibunya, sejak ia berusia 3 bulan. Pada saat ini pikiran bawah sadar telah bekerja sempurna, merekam segala sesuatu yang dialami seorang anak dan ibunya. Semua peristiwa, pengalaman, suara, atau emosi masuk ke dan terekam dengan sangat kuat di pikiran bawah sadar dan menjadi program pikiran.
    Saat seorang anak lahir, ia lahir hanya dengan satu pikiran yaitu pikiran bawah sadar. Sementara otak berfungsi sebagai perangkat keras (“mesin”) yang merekam semua hal yang ia alami. Sejalan dengan proses tumbuh kembang, ia mengalami pemrograman pikiran terus menerus, melalui interaksi dengan dunia di luar dan di dalam dirinya, terutama dengan kedua orangtuanya, pengasuh, keluarga, lingkungan, guru, TV, dan siapa saja yang dekat dengan dirinya. Saat masih kecil pemrograman terjadi dengan sangat mudah karena pikiran anak belum bisa menolak informasi yang ia terima, sebab pada saat itu critical factor, atau faktor kritis, dari pikiran sadar belum terbentuk. Kalaupun sudah terbentuk critical factor masih lemah.

    Program pikiran terbentuk sejak dini melalui dua jalur utama, yaitu:
    a.    Imprint
    Imprint adalah apa yang terekam di pikiran bawah sadar saat terjadinya luapan emosi atau stress, mengakibatkan perubahan pada perilaku.
    Contoh: Pasangan muda yang mendengar bayinya menangis, akan didorong pikiran alam bawah sadarnya untuk segera menggendong sang bayi. Atau orangtua akan secara tidak sadar membentak anak balitanya yang terus-menerus bertanya: kenapa burung bisa terbang? Kenapa ikan bisa berenang di dalam air? Kenapa kucing ada yang bulunya hitam dan ada yang putih? Atau belang-belang?
    Dari contoh pertama, anak akan belajar bahwa dengan menangis ia akan segera digendong atau mendapatkan apa yang ia mau, sedangkan dari contoh kedua, anak belajar bahwa pada saat ia banyak bertanya, maka ia akan dimarahi.

    b.    Misunderstanding
    Misunderstanding adalah salah pengertian yang dialami seseorang saat memberikan makna kepada atau menarik kesimpulan dari suatu peristiwa atau pengalaman.
    Contoh: tidak jarang kita mendengar orangtua yang berkata kepada anak laki-lakinya yang tengah menangis: “cup cup,,, anak laki-laki tidak boleh menangis sayang...” Atau saat anak terjatuh, orangtua berkata”Ah, kododknya nakal sih,,,, nih papah pukul kodoknya ya?”
    Dari contoh pertama, anak akan belajar bahwa anak laki-laki tidak boleh menangis sehingga sah-sah saja jika anak perempuan menangis. Sedangkan dari contoh kedua, anak akan belajar bahwa pada saat terjadi sesuatu yang tidak baik pada diri kita, dalam hal ini terjatuh, maka harus ada pihak lain yang disalahkan.

    Program pikiran pada dasarnya diciptakan atau tercipta demi kebaikan kita berdasarkan level kesadaran dan kebijaksanaan kita saat itu dimana tujuannya selalu demi kebahagiaan kita.

    Program pikiran menjadi Mental block pada saat kita rasakan saat ada penolakan atau hambatan untuk mencapai suatu target yang lebih tinggi. Penolakan ini juga timbul saat kita ingin berubah. Sebaliknya program pikiran akan menjadi stepping block, batu lompatan, bila bersifat mendukung kita.
    Jadi, suatu program, selama tidak bersifat menghambat diri kita maka jangan diotak-atik. Biarkan saja. Tidak perlu bingung.

    Proses Pembentukan Mental Blocks pada Perempuan Tunanetra
    Baik imprint maupun misunderstanding, setelah terekam di pikiran bawah sadar, akan menjadi program pikiran yang selanjutnya mengendalikan hidup seseorang.
    Proses inilah juga yang terjadi pada perempuan tunanetra mulai dari saat kita lahir sampai kita semua berada di sini sekarang ini.
    kekeliruan pengalaman hidup / pergaulan, sisa traumatik masa lalu, sisa luka batin, sisa pengalaman yang tidak mengenakkan ketika kecil maupun karena “kekeliruan” cara pandang terhadap sesuatu atau akibat ketidaktepatan cara memberikan pendidikan terhadap peremmpuan tunanetra,  dapat mengakibatkan kecanggungan bertindak, kesulitan berbicara (apalagi di depan umum), kesulitan mengaktualisasikan diri (walaupun sebenarnya memiliki berbagai kelebihan), kadang juga muncul dalam bentuk rendah diri bagi perempuan tunanetra.
    Bayangkan, jika kita mendengar kata “perempuan”, menurut anda, apa yang biasanya masyarakat luas katakan tentang perempuan?
    Lemah, emosional, cerewet, suka ngegosip, suka belanja, suka arisan, mudah tersinggung, tidak dapat menjadi pemimpin, lebih cocok di dapur, dll.
    Di sisi lain, jika kita mendengar kata “tunanetra”, apa yang biasanya masyarakat luas katakan tentang tunanetra?
    Tidak berdaya, tidak mandiri, berpakaian norak, bersuara keras, tidak berpendidikan, selalu perlu bantuan, hasil kutukan, identik dengan pengemis, hanya bisa jadi pemijat, pengamen, dll.
    Anggapan//asumsi seperti ini telah berkembang sejak dahulu dan hal ini secara alami berproses dan membunuh karakter perempuan tunanetra di kalangan masyarakat umum. Hal ini tercermin dari cara pandang masyarakat tentang perempuan tunanetra, dari mulai di lingkungan keluarga, tetangga, sekolah, sampai kepada pemerintahan.
    Tidak jarang kita mendengar adanya bahan bacaan yang mengatakan: “Ayah pergi ke kantor, Ibu pergi ke pasar, Budi main bola di halaman sedangkan Wati membantu Ibu membersihkan rumah.”
    Di dalam beberapa bahan bacaan juga banyak kita mendengar adanya ilustrasi seseorang sedang menuntun tunanetra tanpa penjelasan bagaimana menuntun dengan benar dan tidak ada bahasan lebih lanjut bagaimana tunanetra dapat berinteraksi dengan orang lain yang tidak tunanetra. Ilustrasi tersebut hanya menekankan bahwa orang tunanetra [perlu dibantu dan bahwa membantu tunanetra adalah perbuatan yang mulia.
    Tapi apakah kita pernah mendengar adanya bahan bacaan sekolah yang mengilustrasikan seorang murid tunanetra yang sedang membantu temannya yang tidak tunanetra belajar matematika misalnya? Tidak pernah kan? Walaupun dalam kehidupan nyata hal ini benar-benar terjadi.
    Belum lagi jika kita bicara tentang suguhan tontonan yang ada di televisi, maka gambaran tentang perempuan serta tunanetra/disabilitas banyak yang lebih mengarah kepada hal-hal yang mengidentikkan perempuan tunanetra sebagai objek yang negatif. Gambaran-gambaran inilah yang dapat dikatakan sebagai mitos.
    Hal-hal seperti inilah yang merasuki pikiran kita dan masyarakat luas sehingga akhirnya mitos-mitos tentang perempuan tunanetra menjadi program pikiran bagi masyarakat luas, termasuk perempuan tunanetra itu sendiri dan tentunya berpotensi besar menghambat kemajuan perempuan tunanetra ke arah yang lebih baik.





    Cara Mengenali Mental Blocks
    mental block, pernah terjadi pada hampir semua orang. Yang paling parah dari situasi mental block adalah bila efek yang ditimbulkan berkepanjangan. Setiap kali menghadapi hal yang sama, Anda kemudian mengabaikannya atau menyikapi dengan negatif, sehingga menjadi karakter buruk yang melekat pada diri Anda sebagai potensial leader (orang yang memiliki potensi sebagai pemimpin) ketika menghadapi kasus yang serupa. Situasi mental block ini cukup berbahaya bagi kelangsungan hidup berorganisasi.
    Dalam kehidupan sehari-hari, Perasaan malas, mengantuk, dan berbagai perasaan lain yang menghambat upaya untuk berubah ini adalah ulah nakal dari mental block kita. Nah, ini saatnya kita perlu menemukan dan mengenali mental block ini. Setelah ditemukan… ya dibereskan.
    Pada banyak kasus perempuan Tunanetra, rasa takut, rendah diri, tidak percaya diri, merasa tidak berdaya, merasa bukan target prioritas, merasa tidak berharga, merasa tidak diinginkan, merasa tidak mampu, merasa tidak mungkin dan merasa harus berada di belakang laki-laki Tunenetra, merupakan mental blocks yang kita sering temui. Mental blocks ini tentunya telah terbentuk sejak dini, dengan adanya imprint dan misunderstanding yang berkembang di masyarakat luas, mulai dari keluarga, sekolah, lingkungan setempat, sampai kepada pemerintah, yang juga diperkuat dengan adanya nilai adat istiadat, budaya, kepercayaan, agama dan mitos yang berlaku.

    Intinya, jika anda telah menetapkan target yang lebih tinggi, dari apa yang telah anda capai saat ini, dan anda merasa ada yang tidak enak di hati anda maka ini indikasi adanya mental block.

    Atau jika anda mengalami kegagalan yang beruntun atau yang mempunyai pola kegagalan yang sama, maka ini indikasi sabotase diri alias mental block.

    Mental block ini ada juga yang baik. Misalnya anda adalah seorang pengurus Pertuni. Dan ada kesempatan untuk korupsi, namun anda tidak mau. Alasannya bisa macam-macam.
    Bisa takut dosa, takut masuk neraka, takut malu, takut ketahuan, bisa karena anda tidak ingin melukai hati pengurus Pertuni lainnya atau orangtua anda, atau anda setia pada janji diri anda sendiri, atau alasan apapun. Yang pasti, ada satu program pikiran yang menghambat anda melakukan sesuatu. Mental block ini tentunya perlu dipertahankan.



    Cara Mengatasi Mental Blocks
    Saya bukan seorang hipnoterapis, jadi saya disini tidak akan dapat memberitahu anda bagaimana anda dapat menghilangkan mental blocks pada diri anda.
    Saya akan hanya berbrcerita tentang apa yang saya yakini selama menjalani kehidupan saya sebagai perempuan tunanetra, dan saya harap, diakhir sesi nanti, anda dapat mengenali mental blocks anda masing-masing dan mudah-mudahan anda termotivasi untuk mengatasi mental blocks anda tersebut.
    Satu hal yang harus diingat dan diyakini bersama adalah bahwa terlahir sebagai perempuan dan terlahir menjadi tunanetra bukanlah pilihan anda.
    Namun, merasa bahagia atau merasa susah, itulah pilihan hidup anda! Jadi, mana yang akan anda pilih? Menjadi perempuan tunanetra yang bahagia, menyenangkan, mudah bergaul, murah senyum, dan aktif? Atau menjadi perempuan tunanetra yang selalu menggerutu, susah, menyebalkan, pemalas dan pemarah?
    Sepanjang yang saya pernah alami, mental blocks kebanyakan dapat diatasi dengan cara membangun percaya diri. Membangun percaya diri juga harus dibangun di setiap aspek/tahapan kehidupan kita.
    Caranya? Kenali potensi anda! Saya percaya, setiap orang pasi punya suatu potensi, entah itu kecil maupun besar. Disini saya pastikan bahwa tidak penting berapa kecil atau besar potensi yang anda punya, yang terpenting adalah bagaiman anda dapat mengembangkan potensi yang kecil menjadi besar dan bagaimana anda menggunakan potensi besar anda ke arah yang bermanfaat bagi diri anda dan orang lain.
    Ingat di bagian awal dari makalah ini mengatakan bahwa program pikiran akan menjadi stepping block, batu lompatan, bila bersifat mendukung kita.
    Jadi, mari sekarang kita program pikiran kita bahwa kita akan bersama-sama membangun percaya diri dengan berkata “tidak” pada mitos-mitos yang tidak benar tentang perempuan tunanetra dan yakinkan pada diri kita: “KITA BISA!”.
    Di bagian ini saya hanya akan mengangkat satu contoh kecil yang saya yakini dalam hidup saya, yaitu:  Perempuan Tunanetra cantik
    Apa yang ada dalam pikiran anda pada saat mendengar kata “cantik”? berparas molek? Berkulit putih? Berhidung mancung?
    Semua yang disebutkan di atas adalah program pikiran yang diterapkan masyarakat dan lingkungan tentang pengertian “cantik”.
    Jika program pikiran ini masuk dalam alam bawah sadar kita sehingga membuat kita yakin bahwa peremppuan tunanetra tidak dapat dikatakan “cantik”, maka inilah yang disebut mental blocks.
    Sebetulnya kita semua berpotensi menjadi cantik jika kita yakin kita dapat menjadi cantik dan yakinkan pada diri anda bahwa anda dapat menjadi cantik dengan cara berpenampilan baik.
    Misalnya dalam memakai bedak. Tidak hanya tunanetra, tapi setiap orang pasti pernah mengalami kesulitan dalam memakai bedak. Bedanya adalah, kalau orang lain cukup dengan bercermin, maka ia akan tahu bagian mana yang bedaknya terlalu tebal atau bagian mana yang bedaknya masih harus ditambah.
    Bagi perempuan tunanetra, ia memerlukan orang lain untuk melihat hal-hal tersebut.
    Dalam memilih bedak, kita harus memilih warna bedak satu level lebih gelap dari warna kulit kita. Untuk itu, kenali warna kulit anda!
    Jika anda menggunakan bedak padat, usapkan bantalan aplikasi bedak tiga kali atau lima kali misalnya,  sebelum anda membubuhkannya ke wajah anda. Perlu beberapa kali percobaan dan awalnya anda memerlukan orang lain untuk melihat mana hasil yang lebih baik untuk wajah anda, apakah tiga kali usapan atau lima kali usapan untuk mendapatkan hasil yang terbaik, namun setelah itu, anda dapat melakukannya tanpa bantuan penglihatan orang lain.
    Setelah itu, bubuhkan bedak yang sudah melekat pada bantalan aplikasi ke wajah anda dengan cara di tepuk-tepuk ke seluruh permukaan wajah anda. Jangan coba-coba untuk menggosokkannya ke muka anda karena hasilnya akan berbeda.
    Jangan lupa untuk membubuhkan bedak ke bagian leher dan belakang leher sampai batas kerah baju anda sehingga tidak akan terlihat belang.
    Terakhir, sapu perlahan seluruh permukaan wajah anda dengan tissue, atau kuas wajah, terutama di bagian terdekat dengan batas rambut anda, untuk menyempurnakan tampilan akhir dan untuk menghilangkan bubuk bedak yang tidak terpakai dari wajah anda.
    Sekali lagi ingat! Sapukan tissue perlahan, jangan digosokkan!
    Mulailah membangun percaya diri dari hal-hal yang kecil dan berkonsultasilah ke sumber atau orang yang tepat. Dari hal-hal kecil ini kita beranjak ke hal-hal yang lebih besar sampai akhirnya anda menemukan kepercayaan diri yang lebih lagi.
    Menggunakan bedak, perona bibir, sampai kepada tata rias muka penuh; memilih busana yang serasi, memilih sepatu yang cocok  sampai kepada tata rambut yang sesuai; bertutur sapa secara patut, menggali pengetahuan umum sampai kepada berbicara di depan publik; bukanlah hal yang tidak mungkin bagi perempuan Tunanetra.
    Intinya adalah dorong emosi secara positif atau bangkitkan rasa senang terhadap sesuatu! Proses selanjutnya akan berjalan otomatis. Biarkan otak kiri dan otak kanan bekerja dengan sendirinya. Mereka mendapatkan perintah dari rasa senang yang dibangkitkan dengan sadar oleh Anda sendiri! Benar bahwa, potensi seseorang akan semakin berlipat kalau dia mendayagunakan kemampuan interaksi fisik, perasaan senang dan pikiran.



    Saturday 23 February 2013

    Melia Hotels honors Jakarta employee for community leadership



    The Jakarta Post
    Thursday, 27 December 2012
    Page 16
    Melia Hotels International has honored Rina Prasarani, a Red Glove Line Agent at Gran Melia Jakarta, with a special award for leadership and inspiration.
    Rina, 37, is known for her advocacy of rights for disabled persons.  After being diagnosed with a degenerative eye license, she eventually became blind.  Her efforts and spirit are a source of inspiration for her coworkers and the general public.
    She was appointed secretary general of the World Blind Union (WBU) at recent WBU General Assembly in Thailand.  She has worked at Gran Melia Jakarta since 2004.

    Saturday 24 December 2011

    Rina, Pekerja Tuna Netra di Hotel Bintang 5

    Mohammad Rizki Maulana - detikNews

    Sabtu, 03/12/2011 05:17 WIB

    Jakarta - Menjadi penyandang disabilitas bukan merupakan halangan bagi seseorang untuk mandiri. Lihatlah Rina Prasarani, seorang penyandang tuna netra

    yang bisa membuktikan hal tersebut.

    Rina mengidap kelainan mata sejak kecil dan mengalami kebutaan total saat duduk di bangku kuliah, namun itu tidak membuat ia berkecil hati dan patah semangat.

    Sekarang dirinya berhasil menjadi seorang pegawai yang mandiri di salah satu hotel bintang 5 di Jakarta.

    "Sekarang saya bekerja sebagai Customer Service di hotel berbintang 5 di bilangan Jl HR Rasuna Said. Dengan gaji lumayan berkisar Rp 3-4 juta," kata Rina

    saat ditemui wartawan di kantor LSM Agenda, Jalan Cikini V no 15 A, Jakarta Pusat, Jumat (2/12/2011).

    Ia mengakui pada awalnya banyak hambatan yang dihadapinya. Pekerjaan yang menuntut dirinya untuk berhadapan dengan monitor komputer dan telepon dari para

    tamu membuatnya merasa kesulitan. Pada mulanya ia selalu meminta bantuan dari rekan kerjan tetapi hal itu malah membuatnya menjadi dianggap tidak produktif.

    Lambat laun akhirnya ia berusaha dan akhirnya mampu mengatasi hambatan-hambatan yang ada.

    "Untung teman saya ada yang jago IT dan punya software komputer buat bantu kerjaan saya. Software itu untuk bikin Komputer bisa ngomong sendiri. Saya jadi

    bisa mandiri," kisah Rina.

    Keberhasilannya itu membuatnya diganjar penghargaan dari tempat ia bekerja. Ini merupakan prestasi yang cukup membanggakan bagi seorang yang bekerja dengan

    segala keterbatasan.

    "Saya mendapat penghargaan Karyawan Insipiratif di tahun 2009 dan saya juga masuk Nominasi Karyawan Terbaik tahun 2008," ucap Rina dengan bangga.

    Rina yang juga merupakan alumni SMP Tarakanita 4 ini menceritakan pengalamannya menjadi penyandang disabilitas di Indonesia. Menurutnya di Indonesia pemerintah

    belum memperhatikan kemudahan akses bagi para penyandang disabilitas.

    "Di Indonesia fasilitas bagi penyandang cacat tidak bersahabat. Beda dengan di luar negeri yang sangat membantu," keluh Rina.

    Untuk itu ia berharap, kedepan pemerintah lebih memperhatikan pemenuhan hak-hak para penyandang disabilitas. Karena ia merasa penyandang disabilitas di

    Indonesia belum sepenuhnya mendapat pelayanan, penghormatan dan pemenuhan terhadap hak-hak mereka.


    Sunday 16 October 2011

    RAPAT KERJA Pembahasan RUU HAK-HAK Penyandang DISABILITAS

    NASIONALIS RAKYAT MERDEKA - Oktober 15, 2011

    http://nasionalisrakyatmerdeka.wordpress.com/2011/10/15/rapat-kerja-pembahasan-ruu-hak-hak-penyandang-disabilitas/

    Rapat Komisi DPR RI RUU Disabilitas

    "...Menlu RI Marty Natalegawa Menyampaikan Keterangannya kepada Pers Usai Rapat Komisi VIII DPR RI..."

    “…Jakarta(12/10/2011),Komisi VIII DPR bersama Menteri Luar Negeri, Menteri Sosial dan Menteri Hukum dan Ham pada 12 Oktober 2011 bertempat di Gd. Nusantara II DPR RI, Jakarta, melakukan Rapat Kerja untuk pembahasan RUU tentang Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Rapat Kerja diawali dengan sambutan dari

    Menteri Luar Negeri R.M. Marty M. Natalegawa mengenai keterangan Pemerintah atas Rancangan Undang-Undang RI tentang Pengesahan Undang-Undang Hak-Hak PENYANDANG

    DISABILITAS. Dalam sambutannya Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa menyatakan bahwa Rapat Kerja kali ini adalah merupakan kelanjutan dari Rapat Dengar

    Pendapat Komisi VIII dengan wakil Pemerintah dan Kementrian Luar Negeri pada tanggal 26 September 2011.Proses yang bergulir sangat cepat sejak surat Presiden

    RI menyampaikan RUU Pengesahan Konvensi ini telah disampaikan kepada DPR RI pada tanggal 23 Juni 2011 lalu. Hal ini menunjukan kepedulian kita semua yang

    sangat tinggi terhadap hak-hak masyarakat penyandang Disabilitas, ungkap Menteri Marty Natalegawa lebih lanjut. “Harapan kami tentunya, melalui pengesahan Konvensi ini, Indonesia memiliki kerangka hukum yang lebih komprehensif dan kuat yang menjadi dasar bagi Negara

    untuk semakin menyejahterakan rakyatnya, khususnya para penyandang disabilitas. Kemudian Rapat Kerja juga diisi dengan pendapat dari masing-masing Fraksi

    yang hadir seperti Fraksi PDIP, Partai Demokrat, GOLKAR, PKS, dll.Segera setelah penandatanganan dimaksud, serangkaian persiapan ratifikasi Konvensi (termasuk

    sosialisasi) yang berujung pada penyelesaian naskah RUU tentang ratifikasi dan Naskah Akademik dilakukan segera setelah penandatanganan. Kesuluruhan proses

    melibatkan wakil organisasi penyandang disabilitas.

    Menurut Rina Prasarani, Kepala Departemen Pemberdayaan Perempuan DPP Pertuni (Persatuan Tunanetra Indonesia),

    adanya konvensi ini hendaknya dapat mendorong para tunanetra untuk menyadari hak-haknya. Kementrian Luar Negeri sebagai lembaga yang berperan penting pada

    proses ratifikasi konvensi ini telah menunjukan kesungguhannya dan memfasilitasi serta memberikan dukungan yang bersifat konsultatif serta koodinatif.

    Kami memandang dukungan Kementrian Luar Negeri RI ini sebagai salah satu wujud keseriusan pemerintah untuk memproses ratifikasi hukum internasional demi

    meningkatkan martabat dan kesejahteraan para Penyandang Disabilitas sebagai bagian yang integral dari masyarakat Indonesia, ungkap Rina Prasarani sebagai

    penutup.Dengan menjadi pihak pada Konvensi ini maka akan terbuka peluang lebih luas bagi Indonesia untuk mengembangkan kerjasama Internasional, termasuk

    meningkatkan kapasitas nasional kita dalam menjamin penghormatan HAM penyandang disabilitas sesuai dengan isi Konvensi ini…

    Oleh : Santi Widianti

    Saturday 25 July 2009

    Pertama, Tunanetra Dilantik Jadi Hakim

    Detuk News, Selasa, 23/06/2009 16:34 WIB

    Eddi Santosa - detikNews

    Antwerpen - Ketunaan fisik seharusnya tak menghalangi hak dasar dan peluang seseorang. Di Antwerpen, Belgia, seorang tunanetra dilantik menjadi hakim dan
    langsung bertugas.

    Bart Hagen (32), nama tunanetra itu. Dia dilantik dan diambil sumpah oleh Ketua Pengadilan Tinggi Michel Rozie, Senin (22/6/2009).

    Hakim Tinggi Rozie mengenal baik hakim Hagen, karena dia juga dosen yang mengajar Hagen saat masih mahasiswa.

    "Saya mengenal Anda saat Anda menempuh ujian di Mahkamah Agung, di mana Anda meraih nilai tinggi. Kemudian saya memonitor Anda saat praktik kerja lapangan
    di Pengadilan Mechelen dan saya juga pernah mengajar Anda, di mana Anda selalu aktif berpartisipasi," Ujar Rozie, dikutip dari De Standaard.

    Hakim Hagen akan menjalankan tugas dengan cara memindai dokumen, selanjutnya dengan bantuan teknologi dokumen itu diubah ke dalam bentuk suara.

    Sementara untuk mobilitas di gedung pengadilan, dia akan dipandu oleh anjing pemandunya yang setia.

    Sunday 19 July 2009

    HIDUP ADALAH sebuah PILIHAN

    Hidup adalah Sebuah Pilihan
    WWW.PERSPEKTIF BARU.COM
    Edisi 691 | 14 Jun 2009 |

    Tamu kita sekarang Rina Prasarani, seorang wanita berusia 34 tahun. Rina yang tuna netra memiliki pekerjaan sebagai operator telepon di sebuah hotel berbintang
    lima di Jakarta. Dia juga aktif di berbagai organisasi antara lain di Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) sebagai Kepala Departemen Pemberdayaan Wanita.

    Rina mengungkapkan perempuan tuna netra atau penyandang cacat mendapatkan diskriminasi ganda yaitu sebagai penyandang cacat dan wanita. Jadi, sebagai perempuan
    sudah mendapat diskriminasi, kemudian juga diskriminasi sebagai penyandang cacat. Apalagi kalau datang dari keluarga yang miskin maka beban diskriminasi
    menjadi berlipat tiga. Selain itu, banyak perempuan-perempuan tuna netra atau penyandang cacat yang mendapat kekerasan budaya tanpa kekerasan. Artinya,
    kekerasan budaya justru banyak ditimbulkan dari kasih sayang, dimana perempuan tuna netra diharuskan di rumah saja, tidak usah kemana-mana. Akhirnya, mereka
    tidak mendapatkan akses pendidikan, kalau mereka tidak mendapatkan akses pendidikan maka mereka akan menjadi tidak berpendidikan sehingga saat dewasa mereka
    tidak dapat mengakses pekerjaan. Pada akhirnya itu menimbulkan dan menguatkan stigma bahwa perempuan tuna netra adalah beban keluarga.

    Kini Rina aktif baik secara pribadi maupun melalui organisasi Pertuni untuk menghilangkan diskriminasi tersebut. "Saya ingin turut menjadi bagian, walaupun
    terkecil saja tidak apa-apa. Tidak usah yang besar tapi yang kecil saja untuk ikut berpartisipasi dalam perubahan yang lebih baik."

    Berikut wawancara Wimar Witoelar dengan Rina Prasarani Alamsyah.

    Rina masih saudara saya, yaitu putri dari sepupu saya Berry Bismari Tanukusuma. Untuk menceritakan sosok Rina, saya bacakan satu kutipan kalimat dari sebuah
    media nasional. "Daya penglihatan Rina Prasarani kian menurun di usia remaja akibat digerogoti penyakit Retinitis Pigmentosa (RP). Sempat diliputi amarah
    dan kebingungan tapi tidak sampai larut, dia malu kalau harus membebani orang lain." Sekarang Rina bukan saja tidak membebani tapi juga memberikan inspirasi
    dan nilai tambah bagi banyak orang. Saat ini saya mendengar Rina baru pulang dari Korea, suatu perjalanan yang tidak terbayangkan oleh orang lain dengan
    kondisi fisiknya. Kemana saja perjalanan yang telah Rina lakukan selama ini?

    Kalau mewakili Indonesia untuk kegiatan penyandang cacat, saya pernah ke Australia, Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, Jepang, Filipina, Swiss, Afrika
    Selatan, dan juga Korea.

    Luar biasa. Jadi perjalanan ke Korea itu yang terkini. Apa saja yang dilakukan di Korea?

    Di sana ada leadership training yang diselenggarakan Disable People International. Ada aplikasi pendaftaran yang disebarkan dan kita mendaftarkan diri.
    Kebetulan tahun ini hanya tiga negara yang dipilih yaitu Indonesia, Thailand dan Nepal. Kebetulan yang dipilih dari Indonesia adalah saya. Kegiatan tersebut
    selama satu minggu

    Saya selalu melihat Rina menyanyi di depan umum. Bagaimana kegiatan Anda sebagai vokalis?

    Kebetulan saya aktif di Diferensia Band. Diferensia adalah sebuah kata yang kami buat untuk mengganti kata penyandang cacat, dimana sebenarnya kami berbeda
    tapi bagi kami, "Just like you, we are normal, and just like me, we are different."

    Berapa lama Rina baru menyadari hal tersebut karena penyakit Anda terjadi saat mahasiswa?

    Sebenarnya dari kecil, hanya hambatannya saat itu tidak terlalu signifikan. Jadi tidak menghalangi kegiatan saya sehari-hari. Hanya saja pada saat saya
    mahasiswa, kalau bergerak dan menuruni tangga sering jatuh. Sebenarnya yang membuat saya tidak ingin terlalu lama larut adalah pada tahun 1986 ayah saya
    terserang stroke di usia 46 tahun saat masa produktifnya. Ayah sangat down dan itu sangat berdampak pada ibu saya. Pada saat yang bersamaan, saya dan adik
    divonis Retinitis Pigmentosa. Bayangkan jika kami juga ikutan down, bagaimana ibu saya? Itu yang membuat kami bangkit. Kemurungan kita adalah the last
    thing that my mom needs.

    Rina pada usia muda mengalami dua tantangan. Satu, ayahnya mendapat stroke. Sepupu saya Bery (orang tua Rina) itu orang yang sangat aktif, dia sering juara
    tenis meja. Dia sangat lincah bergaul, sekonyong-konyong stroke pada usia 46 tahun, pada saat Rina dan adiknya serius menghadapi penyakit pada matanya.
    Namun sangat ajaib bahwa baik Rina maupun Jaka (adik Rina) malah bisa menjadi inspirasi bagi keluarga. Walaupun berat untuk dibicarakan, saya ingin melihat
    dari segi yang praktis. Apakah Rina untuk bisa berfungsi aktif tanpa penglihatan mengikuti pelatihan atau ada penyesuaian dulu?

    Pada saat saya menyadari akan kehilangan penglihatan, saya mulai lebih mengandalkan intuisi pendengaran, lalu hafalan di mana setiap kira-kira beberapa
    meter harus belok ke mana, itu kalau tempatnya familiar. Mungkin kalau ke tempat baru biasanya agak sulit. Tapi saya kan hanya kehilangan mata, tidak kehilangan
    mulut untuk bertanya di mana dan ada apa? Jadi, kebetulan masih saja ada orang-orang baik di jalan yang mau membantu.

    Kalau saya lihat di negara-negara Barat orang tuna netra banyak yang menolong di jalan. Apakah di Jakarta juga begitu?

    Masih ada, cuma caranya kadang salah. Misalnya, saya pergi ke kantor membawa tas ransel dan naik bus way. Kalau saya turun dari tangga bus way di depan
    kantor biasanya hanya ada ruang sedikit untuk belok ke kiri menuju trotoar lagi. Jadi di depannya langsung jalan raya. Saya sudah tahu harus ke mana karena
    sudah sehari-hari ke kantor. Tapi orang lain mungkin tidak tahu kalau saya sudah hafal jalan di situ. Jadi, dia tarik ransel saya dan saya reflek menepis
    tangannya karena khawatir pada copet. Padahal maksud dia baik, agar jangan sampai saya jatuh ke jalan.

    Jadi Rina kalau pergi kerja sendiri, betulkah?

    Iya, sendiri. Kebetulan di dekat rumah saya ada halte Trans Jakarta dan di dekat kantor juga ada. Jadi lebih mudah.

    Lalu, soal lainnya seperti bagaimana cara Anda bisa memakai telepon genggam (handphone) atau apakah handphone Anda khusus memiliki huruf timbul (braille)?

    Handphonenya biasa, cuma dipasang satu software yang namanya Talk. Namun software Talk ini hanya bisa dipasangkan pada handphone-handphone yang sudah mempunyai
    sistem operasi symbian. Jadi kalau ganti menu dan lainnya ada suara, tapi logatnya bule karena dia membacanya sesuai bahasa Inggris, seperti ‘a’ dibacanya
    ‘ei’. Saya sudah biasa pakai sehari-hari jadi sudah tahu apa yang diucapkannya. Kalau yang sudah mengenal saya biasanya mengirim pesan singkat (sms) kepada
    saya memakai bahasa Inggris, itu jauh lebih mudah.

    Saya jadi teringat kembali pada Rina setelah menerima pesan dari kakak saya Luki Witoelar. Dia mengatakan Rina ada di facebook. Hebat sekali. Saya mengetahui
    Rina memiliki banyak akal. Tapi saya ingin bertanya bagaimana cara Rina mengisi facebook sebagai tuna netra?

    Sama saja. Jadi di laptop atau komputer yang biasa dipasangkan software bernama Job Access With Speech untuk Windows (JAWS, software aplikasi membaca teks
    yang berfungsi di sistem operasi Windows). Jadi, apa yang tertulis bisa dikonversikan menjadi audio sehingga bisa saya dengarkan kecuali gambar. Kalau
    di bawah gambar itu ada tulisan maka saya tahu mengenai gambar itu.

    Apakah papan ketiknya (keyboard) khusus?

    Tidak. Kalau kita perhatikan keyboard pada huruf F dan J itu ada titik. Semua
    keyboard pasti ada tanda seperti itu, juga di telepon. Jadi untuk orang yang benar-benar bisa mengetik, yang sebetulnya tidak boleh melihat keyboard, karena
    dia harus melihat teks, mengetik dengan 10 jari. Jadi sama dengan saya juga tidak perlu melihat teks.

    Menurut pengamatan Rina, apakah Anda termasuk yang sangat luar biasa di kalangan blind people karena menghadapi hidup dengan sangat tegar begitu?

    Sebetulnya, saya lebih senang disebut dengan happy blind woman.

    Sekarang mengenai hal-hal praktis yang Anda bisa hadapi, tapi kami sendiri suka susah menghadapinya seperti menghadapi tempat pemilihan suara di Pemilu.
    Tentu dalam hal ini tuna netra mempunyai problem lebih banyak. Bagaimana ceritanya?

    Betul. Dari awal perubahan sistem coblos ke penandaan (contreng) saja tanpa disadari sudah berdampak luas bagi tuna netra.

    Waktu itu sebetulnya kami sangat marah. Namun, yang sangat disayangkan adalah perubahan itu, katanya, karena sistem coblos masih mencerminkan peradaban
    yang belum maju. Menurut saya, kalau mau maju jangan memakai pulpen, tapi elektronik sekalian karena kita juga bisa menyelamatkan alam. Bayangkan berapa
    pohon yang harus ditebang untuk Pemilu kita. Selain itu, sistem penandaan juga tidak mengakomodir kerahasian hak pilih bagi tuna netra. Kebetulan kemarin
    kita coba untuk mendesain satu template sebagai alat bantu pilih bagi tuna netra. Bentuknya seperti map dan surat suaranya dimasukkan di sana. Jadi surat
    suaranya sama seperti pemilih lain tapi di map ini ada seperti braille sehingga kita tidak salah untuk memberi tanda pilihan. Namun itu baru bisa diciptakan
    untuk kertas suara pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) karena untuk surat suara untuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sangat rumit, mencantumkan banyak
    nama-nama calon. Sebagai awal hal itu sudah okay, cuma yang sangat kita sangat sayangkan adalah sudah disetujui template
    itu untuk DPD tapi distribusi untuk alat bantu ini tidak merata dan pembuatannya tidak standar juga. Jadi ada braille yang tidak terbaca, ada surat suara
    yang tidak pas dengan template sehingga banyak sekali kekacauan di sana.

    Itu sebetulnya lebih baik diatur dalam peraturan Pemilu maupun lainnya. Sejauh mana orang tuna netra mempunyai representasi untuk kepentingannya di dalam
    badan-badan legislatif?

    Sebetulnya memang seharusnya kita masuk sebagai calon anggota legislatif (Caleg). Kebetulan kemarin juga banyak teman-teman dari penyandang cacat yang mengkaderkan
    diri menjadi Caleg. Yang baru saya tahu adalah kalau tidak salah di Bantul ada tuna netra yang berhasil terpilih menjadi anggota legislatif. Mudah-mudahan
    dari sini kita bisa menyalurkan aspirasi tuna netra karena terus terang saat ini masih kurang kepedulian pada tuna netra. Misalnya, peraturan lalu lintas
    yang baru disahkan tidak berpihak pada penyandang cacat. Ada satu pasal yang meminta untuk pejalan kaki penyandang cacat diberi tanda. Yang sangat marah
    sekali adalah orang-orang tua dari penyandang cacat tuna grahita. Bayangkan, dengan beban mereka sudah menjadi penyandang cacat tapi masih harus ditandai
    lagi. Itu menjadi beban psikologis. Mungkin maksudnya baik tapi karena ketidaktahuan atau caranya salah. Padahal pembuat kebijakan sudah sering bolak-balik
    ke luar negeri, tapi masih membuat kebijakan seperti ini.

    Selain perwakilan langsung, apakah Anda juga mempunyai perwakilan di media massa barangkali ada orang yang suka menulis di koran atau seperti sekarang muncul
    di acara radio atau di forum lain? Apakah hal itu suka Anda lakukan sebagai pengurus Pertuni?

    Kita pernah melakukan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan DPR dan juga
    talkshow-talkshow di televisi, tergantung isunya. Saat ini yang kita banyak dengungkan adalah masalah Pemilu tadi, tetapi ada hal-hal lain juga misalnya
    masalah pendidikan, ketenagakerjaan yang kita coba advokasikan pada setiap kesempatan.

    Apakah hal itu tidak membuat kehidupan Rina lebih stres karena memikirkan persoalan banyak sekali, walaupun semua orang Indonesia juga stres tetapi pada
    umumnya tidak mau menambah beban pribadi?

    Saya justru bangga bisa menjadi bagian dari itu semua. Jika memang ada perubahan di sana, saya ingin turut menjadi bagian, walaupun terkecil saja tidak
    apa-apa. Tidak usah yang besar tapi saya dapat ikut berpartisipasi dalam perubahan yang lebih baik.

    Hal yang bisa kita pelajari dari sikap Anda karena perubahan itu pasti datang cuma kita tidak tahu ke arah mana. Lalu, apa yang menjadi perhatian Anda dan
    kawan-kawan ke depan?

    Masalah perempuan tuna netra atau penyandang cacat. Kami mendapatkan diskriminasi ganda yaitu sebagai penyandang cacat dan perempuan. Jadi, sebagai perempuan
    sudah mendapat diskriminasi, kemudian juga diskriminasi sebagai penyandang cacat. Apalagi kalau kita datang dari keluarga yang miskin maka beban diskriminasi
    menjadi berlipat tiga.

    Banyak perempuan-perempuan tuna netra atau peyandang cacat yang mendapat kekerasan budaya tanpa kekerasan. Artinya, kekerasan budaya itu justru ditimbulkan
    dari banyaknya kasih sayang, dimana perempuan tuna netra diharuskan di rumah saja, tidak usah kemana-mana. Akhirnya, mereka tidak mendapatkan akses pendidikan,
    kalau mereka tidak mendapatkan akses pendidikan maka mereka akan menjadi tidak berpendidikan sehingga saat dewasa mereka tidak dapat mengakses pekerjaan.
    Pada akhirnya itu akan menimbulkan dan menguatkan stigma bahwa perempuan tuna netra adalah beban keluarga.

    Tuesday 23 December 2008

    HIDUP MENJADI TUNA NETRA ADALAH ORANG PILIHAN MAKA BERBAHAGIALAH

    Oleh Rony Ryanto Siahaan
    http://ronyryanto.blogspot.com/2008/12/hidup-menjadi-tuna-netra-adalah-orang.html

    Pengalamanku menjadi Relawan pada Pusat Kajian Disabilitas UI. 19 Nov 2008 Di DPP Pertuni Wawancara Dengan Rina Prasarani Aktifis Tuna netra, berikut hasil sinopsisnya

    HIDUP MENJADI TUNA NETRA ADALAH ORANG PILIHAN MAKA BERBAHAGIALAH

    Pada dasarnya setiap manusia ingin dilahirkan sempurna. Tumbuh dan menjadi dewasa ndengan memiliki organ fisik yang berfungsi dengan baik adalah harapan bagi setiap orang, dan Kesempurnaan tersebut saat ini dipercaya sebagai kunci meraih Cita-cita karena Tak sedikit setiap persyaratan pekerjaan baik di dalam instansi pemerintah maupun swasta masih memandang fisik sebagai faktor penentu sebelum pada pengujian kompetensi diri. Akibatnya keberadaan para penyandang cacat kian tidak mendapatkan tempat diberbagai instasi, belum lagi penerimaan masyarakat yang terkadang memandang sebelah mata orang-orang dengan disabilitas itu.. Tampaknya kondisi tersebut tidak membuat patah semangat bagi perempuan yang lahir 33 tahun silam ini, dalam mengarungi tantangan hidup yang semakin diskriminatif. Adalah Rina sosok perempuan ramah yang memiliki semangat. Sepintas siapa yang menyangka gadis bersahaja yang sering memakai kacamata hitam ini adalah tuna netra, ditengah keterbatasan dalam melihat seolah-olah tertutupi oleh wajah cerianya dengan senyum menghias wajahnya, ditambah lagi gerak tubuh dan eyes contact saat sedang berbicara, sehingga setiap orang atau kerabatnya merasa nyaman berada disampingnya, alasannya karena Rina memiliki sifat yang menyenangkan. Tiada hari tanpa kesibukan maka itulah yang menjadi keseharian dari Rina dan kesibukan itu bukan hanya karena pekerjaannya sebagai switch board atau operator telepon di Hotel Grand Maliya, Jl. Rasuna Said, akan tetapi ia juga mempunyai segudang tanggung jawab lainnya, yang tentunya berkaitan dengan misi sosial. Eksistensinya di beberapa organisasi penyandang cacat seperti dalam lingkup Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni), Persatuan Penyadang Cacat Indonesia (PPCI) serta Persatuan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (PWCI). Membuktikan dirinya sebagai seorang aktifis penyandang cacat. Yang senantiasa berusaha mencurahkan Semangat dan pengorbanannya untuk mengangkat martabat para penyandang cacat . Rentetan Tugas dan tanggung jawab yang ia miliki tidak dijadikan alasan untuk mengurangi waktu untuk rumah tangganya. Meski suami dan anak keduanya tuna netra tidak merubah entitasnya sebagai sosok Ibu yang setia memberi rasa kasih sayang terhadap suami dan anak-anaknya. Pekerjaan Organisasi, Rumah tangganya ia jalani secara sinergi dan penuh sukacita.. Perjalanan Hidup Rina Aku adalah anak kedua dari tiga bersaudara, kakakku terlahir dalam keadaan sehat hanya aku dan adikku yang mengalami cacat mata. Aku tidak pernah menyangka pada usia remaja aku akan mengalami gangguan pada mata hingga pada kebutaan, karena dari ayah, ibu dan kakakku tidak memiliki masalah serius pada penglihatannya. Pada masa taman kanak-kanak (TK) penglihatanku masih bagus. Namun ketika saat aku di sekolah dasar Don Bosco 2, Pulo mas. saat itu usiaku sembilan tahun, pada waktu kelas 4 (empat) SD, aku baru mengetahui kalau aku mengalami masalah pada mata, indikasi itu kusadari ketika disekolah diadakan pemeriksaan mata, hanya sekilas saja dokter itu memeriksa dan langsung memberikan surat ke orang tua aku, bahwa aku harus diperiksa lebih lanjut di dokter mata specialis, pun demikian aku menganggap itu sebagai masalah biasa, karena pada saat itu saya memang sudah memakai kacamata. namun dari awal pun dokter dan ibu tidak secara langsung bilang kepadaku kalau aku akan mengalami kebutaan, alasannya untuk menghindari tekanan psikologis di saat usiaku masih sangat muda saat itu. Ditengah semakin menurunnya pelinghatanku, aku masih bersih keras untuk tetap bersekolah hingga aku lulus dari SMP Tarakanita 4, Rawamangun. dan melanjutkan Sekolah Menengah Atas tepatnya di SMA 36, rawamangun. Mataku ini semakin sering mangalami rabun senja apalagi jika kurang cahaya, perih dan pedih yang kurasakan pada mataku. Karena Itulah yang mendorong aku bersama dengan ibuku meminta kepada wali guru agar dapat diperkenankan duduk paling depan supaya dapat melihat tulisan di papan tulis dengan jelas. Senang rasanya saat setiap kali kami meminta duduk paling depan dapat dikabulkan. Pun demikian masih saja aku yang paling telat jika disuruh menulis catatan oleh guruku, belum lagi kalau guruku menerangkannya melalui papan tulis maka kerap aku terkena teguran demi teguran dari guruku karena telah mrncatatnya. Usai tamat Sekolah Menengah Atas, tidak menghentikan langkahku untuk mengambil jenjang yang lebih tinggi. meskipun sebenarnya aku sudah mengetahui kalau aku memiliki jenis penyakit mata Retinetik Stik Mentosa, kucari informasi itu bersama dengan sepupuku disuatu rumah sakit, dan aku baru tahu kalau penyakitku akibat adanya hubungan darah antara ayah dan ibuku. Saat kami kesana tidak diketahui oleh ibuku karena saat itu ibuku menemani ayahku berobat karena stroke di singapura. Walapun aku sudah mengetahui dampak penyakit itu akan mengakibatkan kebutaan, namun aku berusaha berdalil bahwa aku tetap akan bisa melihat dan kalau harus buta tapi bukan dalam waktu dekat akan tetapi terjadi ketika aku tua nanti, alasannya kudapat karena aku melihat kakek dan nenek ku mereka mengalami kebutaan di usia senjanya .asumsi itu yang membulatkan tekadku untuk kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Keuangan dan Perbankan (STEKPI), Kalibata. Namun ternyata penurunan penglihatanku tidak dapat dihindarkan lagi, ketika aku berada di semester VI (enam), sungguh aku berusaha untuk bisa melihat tapi ternyata tidak bisa, hanya bayangan hitam pekat yang aku lihat.. Karena merasa sudah tidak mampu lagi dan tidak mungkin bisa dipertahankan lagi pada semester VII tahun 1996 aku mengundurkan diri dari STEKPI. Rasa frustasi dan pesimis sebisanya aku hindarkan, yang kemudian aku terus berpikir apa yang aku harus kuperbuat untuk membunuh rasa bosanku, yang akhirnya aku bernisiatif untuk kursus bahasa inggris di British Institute, sambil lalu aku mengusahakan terus berobat dan memeriksakaannya Ke rumah sakit. Keinginan untuk sembuh adalah Impianku meski cenderung utopis, aku tetap berjuang untuk dapat melihat, hingga kemudian aku memberikan diri agar mataku dapat dioperasi, kebetulan saat itu dokter rusia sanggup mengoperasi mataku, namun hanya mata kiriku sedangkan mata sebelah kananku mengharuskan aku dioperasi di RS Rusia, meski masih experimental. Walau demikian Aku terus berdoa pada Tuhan dan berharap ada kesembuhan, hingga akhirnya harapan itu sirna ketika kuketahui kalau aku tak ada harapan untuk aku dapat melihat.. Pernah beberapa kali temanku mengeluhkan, bahwa karena operasi itu kondisi mataku semakin parah, kujawab saja dengan sederhana, bisa saja kondisi mataku jauh lebih parah ketika tidak operasi. Rasa penasaranku kini terjawabkan. Walaupun hasilnya sama saja, sama-sama tidak melihat, namun aku puas, karena telah berusaha semampuku hingga aku harus berobat keluar negri. Kini derita ini kuterima dengan hati yang lapang dan aku percaya dibalik itu semua ada hikmah yang aku dapat. Hngga aku yakin bahwa orang-orang dengan penyandang cacat adalah orang-orang pilihan, jadi berbahagialah. Saat aku sudah tidak dapat melihat lagi, aku berusaha untuk tidak membebani ibuku karena saat itu ayahku mengalami jatuh stroke yang mengakibatkan kelumpuhan pada kaki kirinya, peristiwa itu membuat ibuku sangat shock. Melihat wajah ibuku, tak tega rasanya. oleh karenanya semampuku aku menampakan padanya bahwa diriku baik-baik saja, dan terus berharap sesuatu yang tidak diinginkan tidak terjadi pada ayahku.. Aku memiliki karakter untuk terus belajar dan tuntutlah ilmu setinggi mungkin, hingga aku melanjutkan kuliah lagi di Universitas nasional (Unas) dengan mengambil sastra inggris. Namun suatu ketika kuliahku kembali terhenti karena tahun 1998 aku menikah, dan suamiku juga tuna netra pula, dan sekarang aku memiliki 2 orang anak, anak terakhirku tunanetra pula sekaligus terkena autis. Seiring berjalannya waktu, aku terdorong untuk mencari komunitas yang yang senasib denganku, dengan harapan aku bisa tahu, suka duka menjadi tuna netra dan apa yang harus dilakukan, bersama sepupuku aku mencarinya, pertama-tama kami tergerak untuk observasi di SLB tebet dan ternyata tempat itu adalah untuk tuna grahita. Dari sana kami mendapatkan informasi kalau untuk tuna netra tempatnya di Lebak bulus, disitu saya bertemu dengan bu kartini dan bersamanya, aku belajar Braille secara privat sehingga saya lebih cepat mengetahui huruf-huruf Braille. Dan kemudian ibu kartini mengarahkan aku ke Kartika Mitra Netra. Berada disana sungguh saya sangat senang karena saya dapat menjumpai orang-orang yang senasib dengan saya, dan ada beberapa orang yang memiliki penyakit yang sama seperti saya yakni Retinetik Stik Mentosa. Dari sana saya mulai aktif di perkumpulan remaja tuna netra. Lama disana saya dipercayakan menjadi sekretaris kartika mitra netra. Hingga akhirnya aku dapat mengenal dengan ibu aryani, dia adalah ketua umum himpunan wanita penyandang cacat Indonesia (HWPCI), melalui dialah yang membuka gerbang karir menjadi aktfis penyandang cacat. Saya bersyukur saya diberi kesempatan mengikuti leadership and management training di Negara India, saya menjadi salah satu yang menemaninya mengikuti training disana, alasan karena bu aryani melihat diriku memiliki kualitas dan kapasitas bahasa inggris yang baik. Pasca training aku semakin dilibatkan di dalam HWPCI hingga kemudian pada tahun 1998 aku direkrut menjadi kepala pengembangan daerah. dan pada tahun 2000 DPP Pertuni mempercayakan saya menjabat sebagai Kepala Departemen Pemberdayaan Perempuan. Keatifan dan integritasku mulai diketahui oleh banyak orang, hingga kemudian 2002 pada momen Munas Perhimpunan penyandang cacat Indoensia (PPCI) meminta ku menjabat sebagai kepala seni dan budaya. Dan aku menerimanya dengan harapan aku membrikan kontribusi nyata. Dari sana mobilitasku semakin luas, hingga aku dapat melalang buana ke berbagai Negara untuk mengahadiri Confrence tuna netra Internasional.. Rasanya Tuhan sudah mengatur masa depanku, tanpa aku mencari justru mendapat. tanpa aku duga pada tahun 2004 aku direkomendasikan Kartika Mitra Netra untuk bekerja di hotel Grand Maliya sebagai switch board atau operator telpon, pekerjaan ini lah yang mematangkan komptensiku. meskipun Awalnya aku mengalami kesulitan saat di tahun pertama aku berkerja di hotel bintang lima ini, bekerja sebagai switch board atau operator telpon tidak hanya menerima telpon, Checking atau pesan kamar, memberikan informasi atau menjawab setiap keluhan, akan tetapi juga berhubungan dengan Bill yang langsung berhubungan dengan komputer, untungnya komputer tersebut sudah diinstall jaws aplikasi untuk tuna netra sehingga ditahun berikutnya saya dapat bekerja dengan mandiri, namun sesekali masih tetap membutuhkan orang lain. Saya bersyukur melalui pekerjaan ini aku dapat membuktikan ditengah keterbatasku aku mampu mengerjakan tugas tersebut dengan dengan penuh tanggung. Pekerjaan kini telah aku dapat. Namun perjuangan belum lah selesai, problem lintas sektoral penyandang cacat masih terus terjadi. aksesibilitas penyandang cacat jauh dari harapan. Serta kebijakan pemerintah cenderung diskriminatif dan lain sebagainya. Menjadi bagian dari misi dan tanggung jawab yang harus aku jalankan.